Pages

Subscribe:

Minggu, 28 Oktober 2012

PAHLAWAN PATTIMURA

Pattimura(atau Thomas Matulessy) (lahir di Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Ambon dan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

Daftar isi

Istilah Kapitan

Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
[1]

Perjuangan

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[2] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[3] mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan [4] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [3] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.

Jasa Ibu Yang Telah Membesarkan Kita.

Jasa Ibu Yang Telah Membesarkan Kita | Buddhistzone | Media Pemersatu dan Portal Buddhist pertama di Indonesia Setiap tahun kita selalu mengenang sebuah peristiwa yang sangat penting yaitu “ Hari Ibu” yang jatuh pada tanggal 22 Desember. Tahukah kita bahwa seorang ibu memegang peranan penting dalam kehidupan kita?
Mengapa seorang ibu sangat disanjung oleh para guru zaman dulu?
Karena ibu selalu memperhatikan kesenangan serta kebahagiaan anak anaknya saja. Ibu rela memberikan miliknya yang paling berharga, melupakan diri sendiri
dan Dia rela menghabiskan harta yang diperoleh dengan susah payah, demi pendidikan anak anaknya. Baginya, anak adalah harta yang tak ternilai harganya. Anak merupakan sumber suka dan duka.
Di dalam agama Buddha, Seorang Ibu memegang peranan yang sangat terhormat. Oleh karena itu, Sang Buddha menyabdakan bahwa terdapat 10 jenis perbuatan baik, yang telah kita terima dari seorang Ibu yang berhati mulia.
Sepuluh jenis perbuatan baik itu adalah :
- Kebaikan memberikan perlindungan dan penjagaan, selama kita dalam kandungan.
- Kebaikan menanggung derita selama kelahiran.
- Kebaikan melupakan semua kesakitan begitu kita lahir.
- Kebaikan dari memakan bagian yang pahit bagi dirinya dan menyimpan bagian yang manis buat kita.
- Kebaikan memindahkan kita ke tempat yang kering dan dirinya sendiri di tempat yang basah.
- Kebaikan menyusui dan memberikan makan serta memelihara kita.
- Kebaikan membersihkan yang kotor.
- Kebaikan selalu memikirkan kita bila berjalan jauh.
- Kebaikan karena kasih sayang yang dalam dan pengabdian.
- Kebaikan dari rasa welas asih yang dalam dan simpati.
Bagaimanakah kita harus membalas jasa – jasa yang telah ibu berikan kepada kita? Kita harus mencegah dia berbuat jahat, menganjurkan dia berbuat baik dan menjadi teladan untuk hidup yang baik dan bersusila. Oleh karena itu, sebagai seorang anak yang berbakti maka sudah seharusnya kita, mendengar dan patuh kepada nasehat nasehatnya.
Sang Buddha menyabdakan bahwa Ibu adalah sahabat yang terbaik di rumah.
Kemudian apakah akibatnya, jika kita melupakan jasa jasa mulia ibu, yang telah mengasuh kita dengan penuh kasih sayang? Di dalam "Sonanda Jataka" dikatakan, jika seorang anak berani menipu ibu, maka yang akan diperolehnya adalah jatuh ke dalam NERAKA!

Orang yang semasa hidupnya sangat mencintai, menyayangi dan melindungi serta merawat ibunya, akan senantiasa hidup dengan penuh kebahagiaan dan kesejahteraan.
Dan sebaliknya, jika hidupnya selalu menyakiti dan membuat penderitaan, bagi ibunya maka setelah kematiannya, tiada alam lain yang akan di diami, selain dari pada alam neraka. Anak yang durhaka terhadap ibunya, tidak akan pernah menikmati kebahagiaan, baik di kehidupan ini maupun mendatang.
Semoga di “Hari Ibu” ini, akan senantiasa menyadarkan kita semua, untuk mau dan senang melakukan perbuatan perbuatan baik, yang sudah seharusnya diperbanyak.
Dirgahayu Ibu dan Semoga Sang Triratna (Buddha, Dharma dan Sangha) selalu memberkahi Ibu, kapan dan dimanapun berada?
Semoga Ibu senantiasa panjang usia, sehat dan berbahagia serta berkenan memaafkan atas kesalahan kesalahan yg telah kami perbuat, baik disengaja maupun tidak.

Minggu, 09 September 2012

TOKOH PEWAYANGAN GARENG

GARENG



Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.
Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.
Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.
Dulunya, Gareng berujud satria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satria lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para satria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua satria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Kadempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua satria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.

 TOGOG



 

Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga cucunya yaitu Batara Antaga (Togog), Batara Ismaya (Semar) dan Batara Manikmaya (Batara Guru). Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari ketiga cucunya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan. Pada giliran pertama Batara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya, namun yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus ketika gunung tersebut berada di dalam rongga mulut Togog. Giliran berikutnya adalah Batara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, cucu bungsu dari Sang Hyang Wenang.
Adapun Batara Antaga (Togog) dan Batara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa) dan Togog diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk.